Hidup penuh perjuangan

Sabtu, 26 Maret 2016

Mengamati aktivitas remaja, emang asyik. Betul, nggak bohong, kok. Dunia remaja yang kaya warna itu menyimpan pesona yang “wah”. Jujur saja, bila kita ngomongin remaja, kayaknya seperti nggak ada abisnya. Selalu saja ada hal-hal baru—meskipun kadang itu daur ulang dari tren sebelumnya. Lucunya lagi, apa yang dilakukan remaja sering menjadi tren dan heboh. Meskipun hal itu menyebalkan. Sebab, urusan salah or bener bukan perkara pokok, yang penting tren. So, akhirnya kamu juga suka lihat, bahwa banyak di antara teman remaja yang suka bertingkah aneh; yang penting dikenal orang dan dianggap eksis.
Herannya pula, acapkali orang kemudian menganggap bahwa jejak yang ditinggalkan remaja bisa mengubah jalannya sejarah. Dulu, jaman nyokap sama bokap kita remaja, kayaknya mereka juga kecipratan tren 60-an. Ya, itu jamannya kejayaan ‘generasi bunga’. Saat itu, “perang dingin” membuat jenuh kawula muda yang muak dengan konflik ideologi, dan kemudian menumbuhkan aksi damai anti-perang, terutama di AS dan negeri industri maju lainnya. Aksi protes kawula muda memperjuangkan kebebasan diwarnai anarki populisme, menanggalkan aturan formalitas dan memunculkan budaya urakan sejak pertengahan 60-an.
Aksi protes cara damai kawula muda dengan sebutan Generasi Bunga (Flower Generation) dengan gaya hidup eksentrik; rambut panjang melewati bahu, pakaian serba kumal menjadi tren anak muda kota-kota besar. Rasa solidaritas kebersamaan universal sesama kawula muda disatukan dengan bahasa "kasih" dan menjadi universal dengan acungan dua jari berbentuk "V", diartikan "Peace, brother", dan itu menyebar di kalangan muda di berbagai penjuru dunia.(Suara Pembaruan)
Itu salah satu contoh, betapa tren yang dibuat anak muda sering dianggap bisa mengubah jalannya sejarah. Nggak mesti anak muda sih sebetulnya, orangtua juga bisa berbuat hal yang sama. Pokoknya, bila itu rada-rada aneh--baik or buruk--akan mudah dikenal dan dijadikan patokan, malah bukan tak mungkin bakal digandrungi dan dikagumi.
Coba, kalo kamu buka-buka Guinness Book of Record. Di buku itu bisa kamu temukan yang “langka tapi nyata”. Ada orang yang manjangin kuku tangannya selama puluhan tahun, ada yang nekat nidurin papan berpaku, ada juga yang matanya bisa melotot sampe hampir mau keluar. Wah, pokoknya banyak sekali hal-hal yang nggak lazim. Dan konon kabarnya, mereka telah berhasil mewarnai sejarah hidup manusia. Ya, begitulah. Termasuk bila ada orang yang memang bisa mengubah maksud dan arah jalannya sejarah suatu masa atau orang lain, tergantung kebutuhan yang diinginkan oleh penutur sejarah itu. Celakanya, bila kemudian sejarah yang telah dibelokkan menjadi bahan rujukan terhadap masalah yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Nah, ini dia persoalannya.



Politik Islam
Ngomong-ngomong soal sejarah, penulis jadi teringat kembali tentang sejarah perpolitikan umat Islam yang saat ini sedang mandek. Kalaupun disebut jalan, tetapi sayangnya hal itu jalan di tempat. Pedih dan perihnya lagi, jika sebagian dari kita menganggap bahwa kondisi sekarang sudah oke buat umat Islam. Ibaratnya seorang bujangan yang lagi enak-enaknya tidur siang dan sedang ngimpi dikipasin bidadari. Salah-salah, kalo kita ngebangunin, doi bisa uring-uringan sehari semalam saking keselnya.
Nah, ini dia yang terjadi pada remaja kita sekarang. Saat lagi enak-enaknya dibuai mimpi indah kehidupan sekarang, terus kita usik supaya sadar tentang Islam, atau diusik supaya ngeh tentang masalah politik umat Islam, itu namanya ngebangunin macan tidur. Udah untung nggak murka juga. Salah-salah saking keselnya mereka lalu mencap bahwa politik itu penghasut, politik itu najis, politik itu kotor, dan politik cuma bikin sengsara hidup. Mereka beralasan, lihat aja bagaimana “tersungkurnya” Gus Dur dan melenggangnya Megawati. Bukankah itu bagian dari praktik kotor politik?
Well, itu pasti bukan murni pendapat kamu sebagai seorang muslim. Sebab, seorang muslim yang mengerti betul Islam, kagak bakalan sewot begitu bila ngomongin soal politik. Kamu, dan juga orang yang berpendapat begitu, pasti pikirannya udah dijejali dengan model kehidupan asing. Kamu udah berpikir dan berperasaan yang bukan Islam. Pikiran dan perasaan kamu telah teracuni oleh pemikiran dan perasaan ideologi lain di luar Islam. Itu sebabnya kamu bisa marah bila disadarkan supaya kembali kepada Islam. Itu sebabnya pula kamu bisa gondok banget kalo harus diingatkan supaya bergaya hidup Islam.
Ini wajar, sebab, sebagian besar umat Islam ini—termasuk remaja Islam tentunya—menganggap bahwa sekarang sedang menikmati mimpi indah kehidupan. Segala pesona kehidupan yang ditawarkan saat ini betul-betul memanjakan hidup. Mau minum alkohol, nggak dilarang, mau berzina, monggo saja, mau korupsi juga diberikan jalan dan cara-caranya, mau bergaya busana apa saja silakan. Nggak ada yang ngelarang or usil. Bebas merdeka aja tuh. Kalo pun kemudian ada yang berani ngutak-ngatik, yang merasa terusik suka bilang, “Jangan ganggu kami. Ini HAM”. Nha, lho?
Kalo mereka diarahkan supaya merhatiin masalah politik—khususnya politik Islam, mereka suka marah dan masa bodoh karena ketidaktahuannya. Itu pasti. Sebab, problemnya emang udah berlangsung amat lama. Ibaratnya udah mendarah-daging dalam tubuh. Atau kalo besi udah banyak karatnya, hingga nyaris sulit untuk dibersihkan lagi. Jangankan remajanya, orangtuanya pun nggak ada jaminan untuk sadar politik Islam saat ini. Aduh, betul-betul menyakitkan banget kenyataan hidup kita saat ini. Antara Islam dan umatnya malah berseberangan jauh. Jauuuuh sekali.
Padahal, kalo kita buka lembaran sejarah, Islam dan umatnya telah meraih berbagai kemajuan yang mencengangkan untuk ukuran saat itu. Berbagai futuhat (penaklukan); baik dengan damai maupun perang, telah mengantarkan Islam menjadi negara super power alias adidaya di jamannya. Dan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang dan lama. Bayangkan, sejak masa Rasulullah saw., kemudian dilanjutkan oleh khulafa ar-Rasyiddin, lalu diteruskan oleh sahabat-sahabat yang lain dari kalangan tabiin, juga tabiit tabiin, dan seterusnya hingga berakhir di Turki pada 3 Maret 1924 M. Emang, itulah akhir yang sangat menyakitkan. Sangat mengherankan bila kita terus tinggal diam.
Kamu wajib tahu lho, sejak dibubarkannya Khilafah Islamiyah (pemerintahan Islam) oleh Musthafa Kemal at-Taturk yang bekerjasama dengan Inggris itu, umat Islam mengalami berbagai keterpurukan. Ancaman dan gangguan datang silih berganti. Berbagai pergolakan muncul dimana-mana. Umat Islam, yang tadinya bersatu, kini berpencar memiliki “negara” masing-masing dalam bingkai nasionalisme. Tentu, dengan negeri-negeri kerdil seperti ini--yang juga merupakan skenario Barat dalam memotong-motong wilayah Islam--umat Islam sulit untuk menyebut kata sepakat. Sejak saat itu sampai sekarang, kita betul-betul menjadi bulan-bulanan musuh-musuh Islam.
Akhirnya, umat Islam mengalami “depolitisasi” yang amat hebat. Kita dijauhkan banget dengan istilah yang namanya politik. Kita menjauh, sebab istilah itu telah diplintir menjadi sesuatu yang buruk. Hal itu dilakukan bisa lewat bacaan, bisa lewat pendapat para pakar, atau menyaksikan sendiri praktik-praktik politik. Padahal, pendapat para pakar yang diekspos media massa nggak lepas dari ideologi yang beragam alias tidak hanya Islam. Bisa kapitalis, atau bisa juga sosialis-komunis. Walhasil, sampai pada kesimpulan bahwa politik itu kejam, politik itu kotor, politik itu najis, penghasut dan seabreg julukan jelek lainnya tentang politik.
Padahal pengertian politik yang bener adalah seperti terdapat dalam kitab Mafahim Siyasiyah, dijelaskan bahwa politik adalah ri’ayatusy syu’unil ummah, alias pengaturan urusan ummat. Adapun pengaturan urusan ummat tidak melulu urusan pemerintahan seperti sangkaan banyak orang, melainkan termasuk di dalamnya aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), sosial (ijtima’i), pendidikan (tarbiyah) dan lain-lain. Dalam pandangan Islam, nggak dikenal praktik politik seperti jaman sekarang. Yang cuma urusan kekuasaan tok, tapi rakyatnya malah sengsara dan tidak membawa nikmat. Bukan tak mungkin bila ujung-ujungnya malah memunculkan sikap antipati terhadap politik dari umat Islam. Dengan alasan, politik bikin bulu kuduk merinding.
Umat Islam sekarang tersungkur dan terjerembab ke dalam jurang penderitaan yang amat dalam. Berbagai konflik nyaris tak bisa diselesaikan dengan baik dan cepat. Hal itu disebabkan, selain karena umat Islam ini tidak bersatu, juga karena mereka sudah tergoda untuk mewarnai kehidupannya dengan aturan hidup lain selain Islam.
Coba saja kita perhatikan, saudara-saudara kita di Ambon dibantai kaum Salib, sebagian yang lain malah sibuk ngurus kehidupannya sendiri. Peran negara pun yang seharusnya menjadi pelindung, nyaris tak terdengar suaranya. Para pejabatnya aja malah sibuk mengamankan jabatannya masing-masing. Di jalanan banyak anak terlantar, tapi di sisi lain, gaya hidup para konglomerat udah mewah banget (super premium), yang tanpa ada sedikitpun rasa iba untuk membantu yang lemah. Padahal, dulu di masa kejayaan Islam, penguasa begitu peduli terhadap keadaan rakyatnya. Ambil contoh, suatu ketika seorang muslimah di kota Amuria—terletak antara wilayah Irak dan Syam—berteriak meminta pertolongan karena kehormatannya dinodai oleh seorang pembesar Romawi. 
Teriakan itu ternyata “terdengar” oleh Khalifah al-Mu’tashim, pemimpin umat Islam saat itu. Kontan saja ia mengerahkan tentaranya untuk membalas pelecehan tersebut. Dan bukan saja sang pejabat nekat itu, tapi kerajaan Romawi langsung digempur. Sedemikian besarnya tentara kaum muslimin hingga diriwiyatkan, “kepala” pasukan sudah berada di Amuria sedangkan “ekornya” berakhir di Baghdad, bahkan masih banyak tentara yang ingin berperang. Fantastis! Dan untuk membayar penghinaan tersebut 30.000 tentara musuh tewas dan 30.000 lainnya menjadi pesakitan.
Nah, inilah buktinya bila Islam diterapkan sebagai akidah dan syariat. Sebab Islam adalah ideologi. Urusan dunia sama pentingnya dengan urusan akhirat. Itu sebabnya, dalam pandangan Islam, untuk mengatur kehidupan dunia pun kudu ada hubungannya dengan akhirat. Ini membuktikan bahwa Islam itu sempurna. Firman Allah Swt.:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Mâidah [5]: 3)
Jelas ini juga membuktikan bahwa Islam bertentangan banget dengan sekularisme. Sebab dalam sekularisme, agama dipisahkan dari politik (kehidupan). Dengan kata lain, agama nggak boleh mencampuri urusan duniawi (negara). Napsi-napsi aja deh. Makanya wajar kalo ada yang sholatnya getol, tapi maksiatnya juga nggak pernah absen. Malah ada juga yang sulit ngebedain mana perintah Allah, dan mana larangan-Nya. Akhirnya wajar kalo suka ketuker-tuker tuh. Yang halal malah diharamkan, dan yang haram disulap jadi halal. Ya, inilah kapitalisme dengan akidah sekularismenya.

Perlu kesadaran politik
Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab Al Fikru Al Islamiy menyebutkan bahwa kesadaran politik (wa’yu siyasi) haruslah terdiri dari dua unsur. Pertama, kesadaran itu haruslah bersifat universal atau mendunia (internasional). Bukan kesadaran yang bersifat lokal semata. Kalo kamu yang sudah hidup di jaman yang serba digital tapi pikirannya masih lokal apalagi nggak punya pikiran model begitu, wah nggak kelas deh. Tengok dong saudara-saudara kita di Palestina, Uzbekistan, Tajikistan, Kashmir, Filipina, atau saudara kita di Maluku, Aceh, dan berbagai belahan dunia lainnya. Kita harus tahu dan peduli dengan keadaan mereka. Apakah sekarang lagi menderita atau bahagia. Harus sampai ke situ. Itulah namanya mondial alias mendunia. Jangan cuma tahu perkembangan artis doang, nggak ada gunanya kayak begituan mah. Catet ya!
Nah, unsur yang kedua adalah kesadaran politik yang dimiliki remaja harus berdasarkan pada sudut pandang tertentu alias zawiyatun khosshoh. Dengan kata lain remaja Islam harus bertindak subyektif dan obyektif dalam menilai peristiwa politik yang terjadi. Maksudnya, subyektif karena memang harus didasari pada sudut pandang Islam. Obyektif artinya tekun dan teliti dalam ‘membaca’ peristiwa yang terjadi. Ketelitian dan keakuratan memahami peristiwa politik, mutlak harus kamu miliki. Kenapa? Sebab, banyak peristiwa politik yang sering dikamuflase alias diputar-balikkan faktanya. Dan kerap menutup-nutupi berita. Misalkan, satu orang Palestina yang menyerang tentara Yahudi Israel, tapi aneh bin ajaib yang muncul di koran adalah tentara Israel diserbu teroris. Dan sebaliknya ketika puluhan tentara Israel membantai penduduk Palestina, yang muncul dalam berita adalah, upaya pembelaan diri tentara Israel. Wah, ini kan nggak benar. Maka, akhirnya kamu memang kudu obyektif juga.
Apa kenyataannya sekarang? Sayangnya, pendidikan politik untuk remaja tak bisa dibilang bagus. Justru malah sebaliknya. Remaja dilarang mencicipi manisnya politik. Akibatnya, remaja malah “dipolitikin” oleh ideologi selain Islam. Buktinya? Banyak remaja yang malah menjadi plagiator budaya Barat. Kalo sudah begitu, wajar bila sekarang, dan juga nanti di masa depan, hanya akan bermunculan generasi “politik” yang hanya bisa kwek, kwek,kwek!

Sumber : Buletin Cendekia

Mengamati aktivitas remaja, emang asyik. Betul, nggak bohong, kok. Dunia remaja yang kaya warna itu menyimpan pesona yang “wah”. Jujur saja, bila kita ngomongin remaja, kayaknya seperti nggak ada abisnya. Selalu saja ada hal-hal baru—meskipun kadang itu daur ulang dari tren sebelumnya. Lucunya lagi, apa yang dilakukan remaja sering menjadi tren dan heboh. Meskipun hal itu menyebalkan. Sebab, urusan salah or bener bukan perkara pokok, yang penting tren. So, akhirnya kamu juga suka lihat, bahwa banyak di antara teman remaja yang suka bertingkah aneh; yang penting dikenal orang dan dianggap eksis.
Herannya pula, acapkali orang kemudian menganggap bahwa jejak yang ditinggalkan remaja bisa mengubah jalannya sejarah. Dulu, jaman nyokap sama bokap kita remaja, kayaknya mereka juga kecipratan tren 60-an. Ya, itu jamannya kejayaan ‘generasi bunga’. Saat itu, “perang dingin” membuat jenuh kawula muda yang muak dengan konflik ideologi, dan kemudian menumbuhkan aksi damai anti-perang, terutama di AS dan negeri industri maju lainnya. Aksi protes kawula muda memperjuangkan kebebasan diwarnai anarki populisme, menanggalkan aturan formalitas dan memunculkan budaya urakan sejak pertengahan 60-an.
Aksi protes cara damai kawula muda dengan sebutan Generasi Bunga (Flower Generation) dengan gaya hidup eksentrik; rambut panjang melewati bahu, pakaian serba kumal menjadi tren anak muda kota-kota besar. Rasa solidaritas kebersamaan universal sesama kawula muda disatukan dengan bahasa "kasih" dan menjadi universal dengan acungan dua jari berbentuk "V", diartikan "Peace, brother", dan itu menyebar di kalangan muda di berbagai penjuru dunia.(Suara Pembaruan)
Itu salah satu contoh, betapa tren yang dibuat anak muda sering dianggap bisa mengubah jalannya sejarah. Nggak mesti anak muda sih sebetulnya, orangtua juga bisa berbuat hal yang sama. Pokoknya, bila itu rada-rada aneh--baik or buruk--akan mudah dikenal dan dijadikan patokan, malah bukan tak mungkin bakal digandrungi dan dikagumi.
Coba, kalo kamu buka-buka Guinness Book of Record. Di buku itu bisa kamu temukan yang “langka tapi nyata”. Ada orang yang manjangin kuku tangannya selama puluhan tahun, ada yang nekat nidurin papan berpaku, ada juga yang matanya bisa melotot sampe hampir mau keluar. Wah, pokoknya banyak sekali hal-hal yang nggak lazim. Dan konon kabarnya, mereka telah berhasil mewarnai sejarah hidup manusia. Ya, begitulah. Termasuk bila ada orang yang memang bisa mengubah maksud dan arah jalannya sejarah suatu masa atau orang lain, tergantung kebutuhan yang diinginkan oleh penutur sejarah itu. Celakanya, bila kemudian sejarah yang telah dibelokkan menjadi bahan rujukan terhadap masalah yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Nah, ini dia persoalannya.



Politik Islam
Ngomong-ngomong soal sejarah, penulis jadi teringat kembali tentang sejarah perpolitikan umat Islam yang saat ini sedang mandek. Kalaupun disebut jalan, tetapi sayangnya hal itu jalan di tempat. Pedih dan perihnya lagi, jika sebagian dari kita menganggap bahwa kondisi sekarang sudah oke buat umat Islam. Ibaratnya seorang bujangan yang lagi enak-enaknya tidur siang dan sedang ngimpi dikipasin bidadari. Salah-salah, kalo kita ngebangunin, doi bisa uring-uringan sehari semalam saking keselnya.
Nah, ini dia yang terjadi pada remaja kita sekarang. Saat lagi enak-enaknya dibuai mimpi indah kehidupan sekarang, terus kita usik supaya sadar tentang Islam, atau diusik supaya ngeh tentang masalah politik umat Islam, itu namanya ngebangunin macan tidur. Udah untung nggak murka juga. Salah-salah saking keselnya mereka lalu mencap bahwa politik itu penghasut, politik itu najis, politik itu kotor, dan politik cuma bikin sengsara hidup. Mereka beralasan, lihat aja bagaimana “tersungkurnya” Gus Dur dan melenggangnya Megawati. Bukankah itu bagian dari praktik kotor politik?
Well, itu pasti bukan murni pendapat kamu sebagai seorang muslim. Sebab, seorang muslim yang mengerti betul Islam, kagak bakalan sewot begitu bila ngomongin soal politik. Kamu, dan juga orang yang berpendapat begitu, pasti pikirannya udah dijejali dengan model kehidupan asing. Kamu udah berpikir dan berperasaan yang bukan Islam. Pikiran dan perasaan kamu telah teracuni oleh pemikiran dan perasaan ideologi lain di luar Islam. Itu sebabnya kamu bisa marah bila disadarkan supaya kembali kepada Islam. Itu sebabnya pula kamu bisa gondok banget kalo harus diingatkan supaya bergaya hidup Islam.
Ini wajar, sebab, sebagian besar umat Islam ini—termasuk remaja Islam tentunya—menganggap bahwa sekarang sedang menikmati mimpi indah kehidupan. Segala pesona kehidupan yang ditawarkan saat ini betul-betul memanjakan hidup. Mau minum alkohol, nggak dilarang, mau berzina, monggo saja, mau korupsi juga diberikan jalan dan cara-caranya, mau bergaya busana apa saja silakan. Nggak ada yang ngelarang or usil. Bebas merdeka aja tuh. Kalo pun kemudian ada yang berani ngutak-ngatik, yang merasa terusik suka bilang, “Jangan ganggu kami. Ini HAM”. Nha, lho?
Kalo mereka diarahkan supaya merhatiin masalah politik—khususnya politik Islam, mereka suka marah dan masa bodoh karena ketidaktahuannya. Itu pasti. Sebab, problemnya emang udah berlangsung amat lama. Ibaratnya udah mendarah-daging dalam tubuh. Atau kalo besi udah banyak karatnya, hingga nyaris sulit untuk dibersihkan lagi. Jangankan remajanya, orangtuanya pun nggak ada jaminan untuk sadar politik Islam saat ini. Aduh, betul-betul menyakitkan banget kenyataan hidup kita saat ini. Antara Islam dan umatnya malah berseberangan jauh. Jauuuuh sekali.
Padahal, kalo kita buka lembaran sejarah, Islam dan umatnya telah meraih berbagai kemajuan yang mencengangkan untuk ukuran saat itu. Berbagai futuhat (penaklukan); baik dengan damai maupun perang, telah mengantarkan Islam menjadi negara super power alias adidaya di jamannya. Dan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang dan lama. Bayangkan, sejak masa Rasulullah saw., kemudian dilanjutkan oleh khulafa ar-Rasyiddin, lalu diteruskan oleh sahabat-sahabat yang lain dari kalangan tabiin, juga tabiit tabiin, dan seterusnya hingga berakhir di Turki pada 3 Maret 1924 M. Emang, itulah akhir yang sangat menyakitkan. Sangat mengherankan bila kita terus tinggal diam.
Kamu wajib tahu lho, sejak dibubarkannya Khilafah Islamiyah (pemerintahan Islam) oleh Musthafa Kemal at-Taturk yang bekerjasama dengan Inggris itu, umat Islam mengalami berbagai keterpurukan. Ancaman dan gangguan datang silih berganti. Berbagai pergolakan muncul dimana-mana. Umat Islam, yang tadinya bersatu, kini berpencar memiliki “negara” masing-masing dalam bingkai nasionalisme. Tentu, dengan negeri-negeri kerdil seperti ini--yang juga merupakan skenario Barat dalam memotong-motong wilayah Islam--umat Islam sulit untuk menyebut kata sepakat. Sejak saat itu sampai sekarang, kita betul-betul menjadi bulan-bulanan musuh-musuh Islam.
Akhirnya, umat Islam mengalami “depolitisasi” yang amat hebat. Kita dijauhkan banget dengan istilah yang namanya politik. Kita menjauh, sebab istilah itu telah diplintir menjadi sesuatu yang buruk. Hal itu dilakukan bisa lewat bacaan, bisa lewat pendapat para pakar, atau menyaksikan sendiri praktik-praktik politik. Padahal, pendapat para pakar yang diekspos media massa nggak lepas dari ideologi yang beragam alias tidak hanya Islam. Bisa kapitalis, atau bisa juga sosialis-komunis. Walhasil, sampai pada kesimpulan bahwa politik itu kejam, politik itu kotor, politik itu najis, penghasut dan seabreg julukan jelek lainnya tentang politik.
Padahal pengertian politik yang bener adalah seperti terdapat dalam kitab Mafahim Siyasiyah, dijelaskan bahwa politik adalah ri’ayatusy syu’unil ummah, alias pengaturan urusan ummat. Adapun pengaturan urusan ummat tidak melulu urusan pemerintahan seperti sangkaan banyak orang, melainkan termasuk di dalamnya aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), sosial (ijtima’i), pendidikan (tarbiyah) dan lain-lain. Dalam pandangan Islam, nggak dikenal praktik politik seperti jaman sekarang. Yang cuma urusan kekuasaan tok, tapi rakyatnya malah sengsara dan tidak membawa nikmat. Bukan tak mungkin bila ujung-ujungnya malah memunculkan sikap antipati terhadap politik dari umat Islam. Dengan alasan, politik bikin bulu kuduk merinding.
Umat Islam sekarang tersungkur dan terjerembab ke dalam jurang penderitaan yang amat dalam. Berbagai konflik nyaris tak bisa diselesaikan dengan baik dan cepat. Hal itu disebabkan, selain karena umat Islam ini tidak bersatu, juga karena mereka sudah tergoda untuk mewarnai kehidupannya dengan aturan hidup lain selain Islam.
Coba saja kita perhatikan, saudara-saudara kita di Ambon dibantai kaum Salib, sebagian yang lain malah sibuk ngurus kehidupannya sendiri. Peran negara pun yang seharusnya menjadi pelindung, nyaris tak terdengar suaranya. Para pejabatnya aja malah sibuk mengamankan jabatannya masing-masing. Di jalanan banyak anak terlantar, tapi di sisi lain, gaya hidup para konglomerat udah mewah banget (super premium), yang tanpa ada sedikitpun rasa iba untuk membantu yang lemah. Padahal, dulu di masa kejayaan Islam, penguasa begitu peduli terhadap keadaan rakyatnya. Ambil contoh, suatu ketika seorang muslimah di kota Amuria—terletak antara wilayah Irak dan Syam—berteriak meminta pertolongan karena kehormatannya dinodai oleh seorang pembesar Romawi. 
Teriakan itu ternyata “terdengar” oleh Khalifah al-Mu’tashim, pemimpin umat Islam saat itu. Kontan saja ia mengerahkan tentaranya untuk membalas pelecehan tersebut. Dan bukan saja sang pejabat nekat itu, tapi kerajaan Romawi langsung digempur. Sedemikian besarnya tentara kaum muslimin hingga diriwiyatkan, “kepala” pasukan sudah berada di Amuria sedangkan “ekornya” berakhir di Baghdad, bahkan masih banyak tentara yang ingin berperang. Fantastis! Dan untuk membayar penghinaan tersebut 30.000 tentara musuh tewas dan 30.000 lainnya menjadi pesakitan.
Nah, inilah buktinya bila Islam diterapkan sebagai akidah dan syariat. Sebab Islam adalah ideologi. Urusan dunia sama pentingnya dengan urusan akhirat. Itu sebabnya, dalam pandangan Islam, untuk mengatur kehidupan dunia pun kudu ada hubungannya dengan akhirat. Ini membuktikan bahwa Islam itu sempurna. Firman Allah Swt.:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Mâidah [5]: 3)
Jelas ini juga membuktikan bahwa Islam bertentangan banget dengan sekularisme. Sebab dalam sekularisme, agama dipisahkan dari politik (kehidupan). Dengan kata lain, agama nggak boleh mencampuri urusan duniawi (negara). Napsi-napsi aja deh. Makanya wajar kalo ada yang sholatnya getol, tapi maksiatnya juga nggak pernah absen. Malah ada juga yang sulit ngebedain mana perintah Allah, dan mana larangan-Nya. Akhirnya wajar kalo suka ketuker-tuker tuh. Yang halal malah diharamkan, dan yang haram disulap jadi halal. Ya, inilah kapitalisme dengan akidah sekularismenya.

Perlu kesadaran politik
Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab Al Fikru Al Islamiy menyebutkan bahwa kesadaran politik (wa’yu siyasi) haruslah terdiri dari dua unsur. Pertama, kesadaran itu haruslah bersifat universal atau mendunia (internasional). Bukan kesadaran yang bersifat lokal semata. Kalo kamu yang sudah hidup di jaman yang serba digital tapi pikirannya masih lokal apalagi nggak punya pikiran model begitu, wah nggak kelas deh. Tengok dong saudara-saudara kita di Palestina, Uzbekistan, Tajikistan, Kashmir, Filipina, atau saudara kita di Maluku, Aceh, dan berbagai belahan dunia lainnya. Kita harus tahu dan peduli dengan keadaan mereka. Apakah sekarang lagi menderita atau bahagia. Harus sampai ke situ. Itulah namanya mondial alias mendunia. Jangan cuma tahu perkembangan artis doang, nggak ada gunanya kayak begituan mah. Catet ya!
Nah, unsur yang kedua adalah kesadaran politik yang dimiliki remaja harus berdasarkan pada sudut pandang tertentu alias zawiyatun khosshoh. Dengan kata lain remaja Islam harus bertindak subyektif dan obyektif dalam menilai peristiwa politik yang terjadi. Maksudnya, subyektif karena memang harus didasari pada sudut pandang Islam. Obyektif artinya tekun dan teliti dalam ‘membaca’ peristiwa yang terjadi. Ketelitian dan keakuratan memahami peristiwa politik, mutlak harus kamu miliki. Kenapa? Sebab, banyak peristiwa politik yang sering dikamuflase alias diputar-balikkan faktanya. Dan kerap menutup-nutupi berita. Misalkan, satu orang Palestina yang menyerang tentara Yahudi Israel, tapi aneh bin ajaib yang muncul di koran adalah tentara Israel diserbu teroris. Dan sebaliknya ketika puluhan tentara Israel membantai penduduk Palestina, yang muncul dalam berita adalah, upaya pembelaan diri tentara Israel. Wah, ini kan nggak benar. Maka, akhirnya kamu memang kudu obyektif juga.
Apa kenyataannya sekarang? Sayangnya, pendidikan politik untuk remaja tak bisa dibilang bagus. Justru malah sebaliknya. Remaja dilarang mencicipi manisnya politik. Akibatnya, remaja malah “dipolitikin” oleh ideologi selain Islam. Buktinya? Banyak remaja yang malah menjadi plagiator budaya Barat. Kalo sudah begitu, wajar bila sekarang, dan juga nanti di masa depan, hanya akan bermunculan generasi “politik” yang hanya bisa kwek, kwek,kwek!

Sumber : Buletin Cendekia

Kamis, 17 Maret 2016


Berikut ini saya lampirkan Rumah Type 100, monggo silahkan download Type 100


Berikut ini saya lampirkan Rumah Type 100, monggo silahkan download Type 100